Senin, 03 April 2017

MAKAN PINANG SEBAGAI SIMBOL SEMANGAT PAPUA

Pinang Sirih
Saat ini saya lagi duduk di depan rumah sakit umum pusat sambil menunggu seorang rekan yang sedang berurusan dengan admin RSUP Jayapura. Di samping saya duduk beberapa "masyarakat" asli papua, dua orang wanita dan tiga orang pria. Mereka sedang bercakap-cakap sambil mengunyah buah pinang, buah sirih dan kapur, satu campuran makanan tradisional yang ketika dikunyah menimbulkan cairan dan aroma khas pinang Papua, untuk gampangnya kegiatan ini disebut "makan pinang"

Sebagai putra asli papua saya sudah terbiasa dengan pemandangan ini dimana ada orang papua yang makan pinang dan kemudian meludah di sekitarnya. Entah ketika mereka sedang berada dimana saja, di depan rumah sakit, kantor polisi, kantor gubernur dan dimana saja... makan pinang dan meludah, mungkin kecuali di dalam rumah ibadah.

Makan pinang adalah budaya asli nusantara. Secara spesifik belum ada literatur yang menceritakan bahwa makan pinang adalah budaya asli papua. Tetapi kegiatan makan pinang yang mungkin dipengaruhi oleh para pendatang dari maluku sejak masa penjajahan Belanda yang membawa tradisi ini. Dimulainya kebiasaan makan pinang yang turun temurun ini mengakibatkan makan pinang tetap dapat dikatakan sebagai budaya papua walapun tidak berarti budaya asli Papua.

Secara umum, makan pinang mempunyai dampak positif dan negatif. Beberapa sisi negatif dan sisi positif dari makan pinang adalah sesuatu menarik untuk disimak. Misalnya sisi negatif makan pinang adalah memberikan pengaruh bagi kesehatan gigi terutama gigi menjadi berwarna gelap tetapi gigi seseorang yang makan pinang dipercaya akan sangat kuat sedangkan hal posititf yang penulis catat dari kegiatan makan pinang adalah membentuk keakraban dan menambah stamina. Tetapi penulis juga menemukan bahwa makan pinang bisa membuat "rasa" sebagai orang papua semakin tinggi. 

Nilai perubahan
Euforia demokrasi yang berbentuk semangat reformasi diantara warga bangsa ditahun 1997-1999 yang mengakibatkan runtuhnya pemerintahan Suharto juga menghasilkan pemerintahan baru yang sifatnya desentralisasi.

Pada masa itu, suku bangsa Indonesia khususnya orang papua dan aceh menginginkan "lebih" sebagai daya tawar bagi keutuhan NKRI dan percepatan pembangunan, sehingga bukan saja mendapatkan hak otonomi sebagai akibat sifat  pemerintahan non sentralistik tetapi juga memiliki kekhususan.

Alhasil,semangat "sebagai orang papua asli" tumbuh diantara warga bangsa asli papua. Maka ketika keran demokrasi Indonesia dibuka, semua orang merasa pantas untuk tampil dan berbicara. "Aspirasi rakyat kecil" atau "atas nama rakyat" menjadi kalimat yang paling sering digunakan oleh siapa saja ketika memulai berargumentasi atau berpendapat kala itu. Tentu, hal yang sama juga terjadi di Papua. "Kekhususan" orang papua mulai dikedepankan. Orang papua merasa tidak sama dengan warga bangsa Indonesia lainnya. Orang papua memang beda dalam banyak hal ketika dibandingkan dengan putra asli Indonesia dari suku lainnya.

Perbedaan itulah yang sering diangkat menjadi tema orasi atau pernyataan pendapat di depan banyak orang. Merasa berbeda juga menjadi semacam semangat sebagai pemilik asli tanah papua. Inilah yang penulis sebut sebagai "semangat papua"  

"Semangat papua" ini-pun semakin terlihat ketika kemudian UU Otsus melahirkan lembaga-lembaga adat dan badan-badan pemerintah yang memanifestasikan kekhususan di Papua, UU ini juga melahirkan aturan-aturan khusus diantaranya diantaranya membahas tentang klasifikasi "orang Papua asli" atau tidak asli. Bahasan ini menjadi bagian yang penting karena ketika individu pemegang mandat atau para pengambil keputusan berasal dari para individu bukan asli papua maka akan terjadi gejolak atau penolakan.

Maka ke"papua"an menjadi sesuatu yang eksklusif. Kalau dulu orang papua hanyalah kelompok suku bangsa yang biasa saja bahkan menjadi kelompok warga bangsa yang tertinggal atau bahkan "terbelakang" yang hanya sebagai "obyek" pembangunan maka saat ini menjadi putra asli papua adalah suatu kebanggaan tersendiri. Saat ini para pembangun tanah papua adalah putra-puta papua sendiri. Kesempatan dan kebanggaan sebagai pemilik tanah papua adalah keuntungan sekaligus tanggung jawab suci membangun diri sendiri,keluarga dan kampung halaman.

Dengan demikian terjadi suatu perubahan nilai. Perubahan paradigma dan juga perubahan sikap komunal dari cara menilai diri dan lingkungannya. Yang disayangkan adalah perubahan cara pandang kepapuaan itu telah menjadi arogansi individu sebagian putra asli papua sehingga mereka mulai lupa untuk menempa diri guna bersaing dalam arti positif dengan suku lain di Indonesia.

Nilai yang dipatenkan dalam diri pemuda papua adalah kemampuan atau kualitas diri untuk bersaing dengan sesama putra papua. Berharap menjadi pemimpin politik atau pejabat publik di papua. Tidak banyak yang ingin atau punya rencana mencapai prestasi jabatan di jajaran pemerintah pusat. Misalnya saja sebagai anggota
DPR RI, prosentase putra papua asli yang masuk DCT DPR RI tidaklah seperti yang diharapkan atau pejabat eselon tinggi di kantor kementerian di Jakarta

Karena itu persaingan yang terjadi adalah persaingan antara sesama putra asli papua demi mendapat jabatan di daerahnya adalah sesuatu yang nyata. Mestinya persaingan didasarkan pada kualitas atau kapasitas pada jabatan tertentu tetapi kenyataannya ada hal lain yang berpengaruh kuat seperti misalnya asli atau tidak asli papua bahkan juga apakah individu tersebut adalah asli atau tidak asli putra daerah di wilayah dimana kantor atau institusi pemda itu berada. 

Menjadi lebih Papua
Akibat dari persaingan antar putra papua itu maka terciptalah rasa "menjadi lebih papua" dari orang papua semakin kuat. Bahkan ukuran lebih papua akan menjadi faktor penentu antara dua individu calon pejabat dengan kapasitas individu yang sama. Mulai muncul sebutan "orang gunung" atau "orang pantai" juga sebutan untuk "orang pulau" dan "orang tanah besar" atau juga dengan sebutan orang papua di papua dan orang papua di luar papua. Sebutan atau istilah yang diberikan dulu adalah kalimat atau ungkapan biasa yang digunakan untuk menunjukkan tempat asal seseorang, tetapi sekarang sebutan atau istilah itu lebih dimaksudkan untuk menunjukkan status dan kompetensi seseorang terhadap ke"papua"annya.

Untuk itulah maka secara otomatis nilai-nilai lokal di papua muncul dalam kehidupan sehari-hari. Berbicara dengan aksen atau dialek papua yang lebih kental, mempunyai rambut yang lebih keriting bahkan kulit yang lebih hitam atau juga kebiasaan makan pinang yang lebih "bebas meludah" di mana saja.

Makan pinang seperti inilah yang penulis sebut makan pinang untuk mendapatkan semangat papua, makan pinang dengan maksud sebagai ekspresi bahwa "inilah tradisi kami". Jadi bukan sekedar makan pinang tetapi juga untuk memupuk semangat kepapuaan diantara warga papua.

Pada titik inilah sisi positif dari makan pinang di papua menjadi semakin jelas. Makan pinang tidak sekedar memberikan kenikmatan bagi perorangan tapi rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang tercipta didalamnya adalah hal baik yang bisa menberikan alasan kenapa kebiasaan makan pinang dapat dipertahankan sebagai suatu tradisi di papua

Para pembaca yang budiman, tulisan ini hanyalah sekelumit gambaran tentang makan pinang dan cerita yang muncul disekelilingnya. Penulis berharap makan pinang tidak dianggap sebagai ekspresi ke"papua"an belaka tapi lebih dari itu sebagai wadah terciptanya kebersamaan diantara putra bangsa Indonesia asli papua.

Semoga makan pinang bisa membawa rasa kekeluargaan yaitu sama-sama papua disaat trend pemekaran wilayah papua yang berakibat perpecahan diantara keluarga besar papua. Biarlah makan pinang akan memberi semangat persatuan bagi peningkatan kualitas diri dan kelompok guna menghadapi tantangan pembangunan khususnya ketika dihadapkan pada persaingan secara positif antar kelompok suku bangsa lain di Indonesia.

Penutup
Semoga semangat papua yang tercipta dari makan pinang akan mempersatukan putra asli papua untuk membangun Indonesia dengan mulai membangun Papua, karena membangun Papua adalah juga membangun Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar