Indonesia menganut prisip politik luar
negeri yang kita kenal dengan “bebas aktif”. Prinsip ini pertama kali muncul
dalam pidato Wakil Presiden Mohammad Hatta yang berjudul “Mendayung di antara
Dua Karang”. Pidato tersbut, Hatta menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara
berdaulat yang bebas untuk menentukan nasibnya sendiri. Setelah Perang Dingin
pecah, dunia seolah dipaksa untuk memilih antara dua blok (Amerika atau Uni
Soviet), hal ini menjadikan negara yang memihak pada satu blok cenderung
menjadi aktor pasif. Sementara dalam pidatonya, Hatta menegaskan bahwa
Indonesia harus berperan aktif dalam politik internasional. Oleh karenanya,
politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingan negara sendiri,
bukan digantungkan kepada politik luar negeri negara lain.
Pada intinya, Indonesia tidak boleh
menjadi objek dalam politik internasional. Sebaliknya, Indonesia harus menjadi
subjek yang memiliki hak untuk membuat pilihannya sendiri.
Dalam perjalanannya, prinsip politik
luar negeri bebas aktif telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemimpin
dalam Gerakan Non-Blok (GNB) tahun 1961. Pada masa itu, politik luar negeri
Indonesia sangat menonjol dalam memproklamirkan penolakan terhadap salah satu
blok. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia serius melaksanakan prinsip politik
luar negeri bebas aktif-nya. Sayangnya, terjadi beberapa penyimpangan dalam
menjalankan prinsip bebas aktif ini. Beberapa diantaranya adalah bergabungnya
Indonesia dalam Nefo (New Emerging Forces) dan terbentuknya poros Jakarta-peking.
Ini tentunya menimbulkan pertanyaan:
apakah prinsip politik luar negeri bebas aktif benar-benar cocok untuk
Indonesia?
Tentu, kita mengetahui keuntungan dan
peluang yang bisa Indonesia dapatkan dengan tidak memihak pada satu kubu
tertentu. Indonesia bebas menentukan masa depan dan nasib bangsanya sendiri
tanpa campur tangan bangsa atau negara lain. Bebas menentukan sikap apapun yang
dilandasi Pancasila dan UUD 1945 dalam menghadapi berbagai masalah
internasional. Indonesia dapat aktif dan berperan dalam menjaga dan
menciptakan perdamaian dunia. Serta, Indonesia bebas ikut aktif dalam setiap
kegiatan dan organisasi Internasional. Penerapan prinsip ini juga memudahkan
Indonesia dalam membangun kepercayaan dan hubungan baik dengan negara lain.
Satu sisi, dunia politik internasional
dinamis dan terus berubah seiring berjalannya waktu. Berakhirnya perang dingin
lantas menaikkan status Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya,
kemudian muncul berbagai isu-isu kontemporer memaksa Indonesia perlu
menyesuaikan kembali politik luar negerinya. Jika prinsip bebas aktif ini dapat
memudahkan Indonesia dalam membangun kepercayaan dengan negara lain, prinsip
ini juga dapat menimbulkan ketidakpercayaan negara lain terhadap Indonesia.
Contoh kasus manakala Indonesia dan
Malaysia memperebutkan pulau sipadan dan ligitan. Malaysia tentu saja memiliki
posisi yang lebih menguntungkan dibanding Indonesia. Seperti yang kita tahu
bahwa Malaysia didukung oleh Inggris dan negara-negara commonwealth lainnya.
Hal tersebut jelas merupakan suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh
Indonesia--memiliki negara penyokong seperti Malaysia-Inggris.
Akan tetapi, bukan berarti Indonesia
harus mengganti prinsip polugri bebas aktif yang selama ini dijalankan.
Indonesia harus dapat menempatkan diri dalam perpolitikan internasional seraya
membawa kepentingan bangsa dan negara. Jangan sampai Indonesia menjadi kapal
yang terombang-ambing dan menabrak karang, padahal seharusnya Indonesia mampu
mendayung diantara dua karang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar